INTERRELASI BUDAYA JAWA DAN ISLAM PADA ASPEK POLITIK
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata kuliah :
Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.Si.
Disusun :
Siti Mukholifatul Umroh (133511048)
Laeli Muamalati (133511066)
Ishlakhul Amaliyah (133511067)
Maya Masitha Safitri (133511068)
Uswatun Khasanah (133511070)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH
DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam sebagai agama yang universal (rahmatan lil alamin) memiliki sifat adaptable
yang tumbuh disegala tempat dan waktu. Hanya saja pengaruh lokalitas dan
tradisi, kelompok, suku bangsa, diakui atau tidak sulit dihindari dalam
kehidupan masyarakat muslim. Namun demikian sekalipun berhadapan dengan budaya
lokal didunia, keuniversalan islam tidak akan batal. Satu kebudayaan daerah
yang cukup berpengaruh di Indonesia adalah kebudayaan Jawa, yang telah ada
sejak zaman prasejarah. Kedatangan Hindu dan budayanya di Jawa, berkembanglah Hindu-Jawa.
Demikian pula dengan masuknya islam.
Hubungan antara islam dan budaya Jawa dapat
dikaitkan sebagai dua sisi yang tidak terpisahkan. Pada satu sisi, islam yang
datang dan berkembang di Jawa dipengaruhi oleh kultur atau budaya Jawa.
Sementara itu pada sisi lain, budaya Jawa makin diperkaya oleh khazanah islam.
Dengan demikian, perpaduan antara keduanya menampakkan ciri khas sebagai budaya
yang sinkretis.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang
yang termaktub dalam pendahuluan di atas penyusun mencoba untuk
menguraikan beberapa rumusan masalah berikut :
1. Bagaimana sistem politik budaya Jawa?
2. Bagaimana akulturasi budaya Jawa dan Islam?
3. Bagaimana interrelasi budaya Jawa dan Islam dalam aspek
politik?
BAB II
PEMBAHASAN
A. SISTEM POLITIK BUDAYA JAWA
Orang jawa atau
javanese menurut Franz Magnis Suseno adalah orang yang memakai bahasa
Jawa sebagai bahasa ibu dan merupakan penduduk asli bagian tengah dan timur
pulau Jawa.[1]
Masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan yang diikat oleh norma-norma hidup
karena sejarah tradisi maupun agama. Hal ini dapat dilihat pada ciri-ciri
masyarakat Jawa secara kekerabatan.[2]
Hubungan
kemasyarakatan jawa kuno masih cenderung menggunakan adat kaum Hindu-Budha.
Dalam buku Konsep Kepemimpinan Jawa karya Suyami, menerangkan bahwa ada
hubungan resiprositas struktur masyarakat Jawa yang terdiri dari Raja, negara
dan rakyat. Sedangkan menurut H. Burger dalam bukunya Perubahan-Perubahan
Struktur dalam Masyarakat Jawa dibagi atas empat tingkatan, yaitu para
raja, bupati, kepala desa, dan rakyat jelata.[3]
Menurut doktrin atau konsep kekuasaan Jawa, raja merupakan penguasa yang mutlak
yang mempunyai tanggung jawab yang besar sebagai pengimbangnya. Dari hal itulah
mengapa masyarakat Jawa memilih pemimpin bukan atas dasar pilihan rasioanal,
melainkan bersifat emosional, yang berarti kharisma lebih penting dari pada
kemampuan.
Koentjaraningrat
dalam bukunya yang berjudul Manusia dan Kebudayaan di Indonesia
menyatakan bahwa dalam kenyataan hidup orang Jawa umumnya, orang masih
membeda-bedakan antara orang priyayi yang terdiri dari pegawai negeri dan kaum
terpelajar dengan orang kebanyakan yang disebut wong cilik, seperti
petani-petani, tukang-tukang dan pekerja kasar lainnya, disamping keluarga
keraton dan keturunan bangsa atau bendara-bendara. Dalam rangka susunan masyarakatnya,
cara bertindak yang berdasarkan atas gengsi-gengsi itu, kaum priyayi dan
bendara merupakan lapisan atas, sedangkan wong cilik menjadi lapisan
masyarakat bawah.
Kemudian
menurut kriteria pemilik agamanya, orang Jawa biasanya membedakan orang santri
dengan orang agama kejawen. Golongan kedua ini sebenarnya adalah
orang-orang yang percaya pada ajaran agama islam, akan tetapi mereka tidak
secara patuh menjalankan rukun-rukun dari ajaran agama islam itu, misalnya
tidak sholat, tidak pernah puasa, tidak bercita-cita untuk melakukan ibadah
haji dan sebagainya. Demikian secara mendatar, didalam susunan masyarakat Jawa
itu, ada golongan santri dan ada golongan kejawen.
Sistem
penggolongan-penggolongan tersebut, selanjutnya menimbulkan hak dan kewajiban
yang berbeda dari keluarga-keluarga tiap-tiap lapisan itu. Secara administrasi,
suau desa di Jawa biasanya disebut kelurahan dan dikepalai oleh lurah.
Sekelompok dari 15 sampai 25 desa merupakan suatu kesatuan administratif yang
disebut kecamatan dan dikepalai oleh seorang pegawai pamong praja yang disebut camat.[4]
Berbicara tentang sistem masyarakat jawa berarti juga
berbicara tentang harmonitas sosial dalam budaya jawa. Berarti berbicara juga
mengenai sikap hidup orang Jawa. Orang jawa adalah orang yang religius. Sejarah
membuktikan bahwa sejak sebelum islam datang ke Jawa, mereka sudah mempunyai
perhatian yang besar terhadap agama. Hampir setiap kerajaan selalu meninggalkan
tempat-tempat pemujaan, misalnya candi prambanan, dan lain-lain. Pada zaman
kerajaan islam dibangun tempat-tenpat ibadah (masjid) yang sampai saat ini
masih dapat dilihat misalnya Masjid Demak, Cirebon, dan lain-lain. Semua itu
menjadi bukti bahwa orang Jawa termasuk orang yang memiliki perhatian besar
terhadap agama.[5]
Dalam hal
adat-istiadat, orang Jawa selalu taat terhadap warisan nenek moyangnya, selalu
mementingkan kepentinga umum atau masyarakatnya daripada kepentingan
pribadinya. Orang jawa mempunyai sikap hidup feodalis, mereka sangat
hormat terhadap keluarga kerajaan atau keraton yang masih bisa dirasakan pada
saat ini di lingkungan pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. Franz Margin
Suseno menyatakan bahwa sikap hidup orang jawa sangat menekankan aspek
keturunan, hormat dan keselarasan sosial.[6]
Sehingga bisa dikatakan bahwa sistem politik yang adil itu tidak berlaku di
budaya Jawa.
B. AKULTURASI BUDAYA JAWA DAN ISLAM
Ketika islam
datang ke Jawa untuk pertama kalinya, tidak langsung diterima oleh masyarakat Jawa
dengan lapang dada. Mayoritas masyarakat Jawa saat itu yang masih berpegang
teguh pada kepercayaan animisme dan dinamisme serta agama Hindu dan Budha.
Tugas para muballigh yang menyebarkan islam di Jawa pun harus mampu
mengkombinasi islam dengan kultur Jawa atau yang disebut dengan Islamisasi
kultur Jawa. Dimana pada saat itulah Walisongo yang menjadi peran utama dalam proses islamisasi kultur Jawa.
Ada dua
pendekatan dalam proses penyebaran islam di Jawa. Pendekatan pertama disebut
“islamisasi kultur Jawa”. Islamisasi kultur Jawa adalah proses pemasukan
corak-corak islam dalam budaya Jawa baik secara formal maupun subtansial. Contoh
islamisasi kultur Jawa yang dapat dijumpai sampai sekarang adalah selametan.
Selametan berasal dari bahasa arab salima-yaslamu-salaman yang berarti selamat. Pengguanaan kata salima
tersebut dalam istilah ritual Jawa merupakan salah satu hasil dari islamisasi
kultur Jawa. Kata selamat diucapkan, misalnya jika terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan, tetapi kejadian tersebut tidak mengakibatkan pada kekurangan atau
kecelakaan. Selametan adalah suatu upacara makan bersama makanan yang
telah diberi doa sebelum dibagi-bagikan.[7]
Pendekatan yang
kedua adalah Jawanisasi Islam. Jawanisasi islam adalah pemasukan nilai-nilai
budaya Jawa ke dalam ajaran-ajaran islam sebagai contoh dalam tembang Jawa berikut:
“tak uwisi gunem iki. Niyatku mung aweh wikan.
Kebathinan akeh lire. Lan gawat ka liwat-liwat. Mulo dipun rayitno. Ojo keliru
pamilihmu. Lamun mardi kebathinan”
Yang artinya:
“saya akhiri pembicaraan ini, saya hanya ingin memberi tahu. Kebathinan banyak
macamnya. Dan artinya sangat gawat. Maka itu berhati-hatilah. Jangan kamu salah
pilih. Kalau belajar kebathinan”
Arti dari
tembang ini adalah pesan orang tua kepada anaknya bahwa perlu dipahami bahwa
tujuan hakiki dari kejawen adalah mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup
sejati dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula dan Gusthi. Dan
sebenarnya dalam islam pun konsep ini diajarkan, yaitu tentang mempelajari ilmu
tauhid.[8]
Kehadiran islam
di jawa dalam bingkai kebudayaan yang telah terbentuk sebelumnya dalam
perpaduan kebudayaaan Hindu dan kebudayaan asli (Jawa) melahirkan sikap bahwa
kehadiran islam bukanlah suatu yang baru untuk menggantikan yang lama tetapi
menambah sesuatu kepada yang lama,
sehingga islam dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat.
C. INTERRELASI BUDAYA JAWA DAN ISLAM
DALAM ASPEK POLITIK
Simbol sinkretisme
politik jawa Islam tampak mencolok pada gelar-gelar raja islam seperti gelar Sultan,
Kalifatullah, Sayyidin Panatagama, tetunggul Khalifatul Mu’minin dan
lain-lain.
Gelar Ratu
Tetunggal diapakai oleh Sunan Giri ketika menjadi Raja pada masa transisi
antara kerajaan Majapahit dan kerajaan Demak. Sunan Giri berkuasa dalam keadaan
vakum kekuasaan pasca keruntuhan Majapahit. Pada masa vakum ini tidak ada
pimpinan yang berdaulat baik dari Raja Hindu maupun Raja Islam. Kerajaan
Majapahit Hindu telah runtuh, sedangkan kerajaan Islam yang nantinya kerajaan
Demak belum berdiri. Sunan Giri berkuasa hanya dalam waktu 40 hari pasca
keruntuhan Majapahit oleh seorang Raja Girindrawardana dan Keling Kediri.
Setelah masa peralihan 40 hari Sunan Giri menyerahkan kedaulatan kepada Raja
Islam yang permanen yaitu Raden Fatah. Beliau lah Raja pertama kerajaan Islam
Demak.
Simbol politik
Islam Jawa juga terdapat pada Raja Yogya yang dipegang oleh Sri Sultan Hamengkubuwono.
Selain sebagai raja juga sebagai sayyidina panatagama. Dengan demikian
Raja Yogya pasti beragama Islam karena tidak mungkin non-Muslim menjadi Sayyidana
Panatagama. Sebab, yang dimaksud Sayyidina Panatagama disini adalah Panatagama
untuk Islam. Inilah stategi jitu dari para pendahulu kita. Suatu proses
islamisasi dengan cara yang amat arif dan kultural.
Hal senada juga
terjadi pada Kyai Ageng Pandan Arang yang menjadi bupati Semarang pertama, yang
merupakan bagian dari kesultanan Mataram. Dia diangkat pada tahun 1575 M. Kyai
Ageng Pandan Arang adalah seorang ulam yang mempunyai pengaruh sangat besar di
masyarakat ketika itu. Karena besarnya pengaruh itulah, beliau di angkat oleh
kesultanan Mataram menjadi bupati Semarang. Keistimewaan Kyai Ageng Pandan
Arang adalah menembangkan fungsi masjid yang nantinya menjadi cikal bakal
masjid Agung Kauman sekarang ini, bukan hanya sebagai tempat ibadah ritual,
tetapi juga sebagai tempat pemerintahan.
Simbol politik
islam juga terdapat pada bangunan pusat kekuasaan. Pusat pemerintahan dibuat
dalam satu rangkaian yang terdiri dari kantor pemerintahan, masjid, pasar dan
alun-alun.[9]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Dalam konsep kekuasaan jawa, Raja merupakan
penguasa yang mutlak yang mempunyai tanggung jawab yang besar sebagai
pengimbangnya. Dari hal itulah mengapa masyarakat Jawa memilih pemimpin bukan
atas dasar pilihan rasioanal, melainkan bersifat emosional, yang berarti
kharisma lebih penting dari pada kemampuan.
2.
Kehadiran islam di Jawa dalam bingkai kebudayaan yang
telah terbentuk sebelumnya dalam perpaduan kebudayaaan Hindu dan kebudayaan
asli (Jawa) melahirkan sikap bahwa kehadiran islam bukanlah suatu yang baru
untuk menggantikan yang lama tetapi menambah
sesuatu kepada yang lama, sehingga islam dapat dengan mudah diterima
oleh masyarakat.
3. Simbol sinkretisme politik jawa Islam
tampak mencolok pada gelar-gelar Raja Islam seperti gelar Sultan,
Kalifatullah, Sayyidin Panatagama, tetunggul Khalifatul Mu’minin dan
lain-lain. Simbol politik islam juga terdapat pada bangunan pusat kekuasaan.
Pusat pemerintahan dibuat dalam satu rangkaian yang terdiri dari kantor
pemerintahan, masjid, pasar dan alun-alun.
B. Kritik dan Saran
Demikianlah
makalah makalah yang dapat saya susun. Kami menyadari dalam penulisan makalah
ini terdapat kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik dan saran sangat saya
harapkan untuk kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penyusun pada khususnya.
DAFTAR PUSTAKA
Suseno, Franz
Margin. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia pustaka
utama, 2003.
Djamil, Abdul
Islam Indonesia Abad Sembilan Belas. Semarang:
IAIN Walisongo, 1996.
Shodiq. Potret Islam Jawa. Semarang:
Pustaka zaman, 2013.
Koentjaraningrat. Manusia Dan
Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan, 2002.
Mukhan, Abdul
Munir. Kebatinan dan Dakwah
terhadap Orang Jawa, Yogyakarta: Persatuan,
1984.
[5] Abdul munir Mukhan, Kebatinan dan Dakwah terhadap Orang Jawa,
(Yogyakarta: Persatuan, 1984), hlm. 139.

Komentar
Posting Komentar