Laporan Hasil Mini Riset

TRADISI SADRANAN DI DESA NGRUKUN DAN KALIJAMBE KIDUL KAB. SRAGEN
Laporan
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : M. Rikza Chamami, M.Si.
Oleh:
Maya Masitha Safitri (133511068)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS  ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2015

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya ragam budaya, khususnya di Jawa. Menjelang bulan suci ramadhan tepatnya di bulan ruwah/ sya’ban ada tradisi yang bernama sadranan yang berkembang di masyarakat Jawa.
 Sadranan diambil dari kata shadrun yang artinya dada, yaitu kontak dengan bapak atau ibu yang sudah meninggal. Sadranan disebut juga ruwahan yang artinya ruh dalam bahasa Jawa.
Sadranan bisa juga disebut nyadran atau ziarah yaitu suatu kegiatan mendatangi makam untuk mendoakan leluhur yang sudah meninggal. Menurut sejarah, tradisi sadranan ini telah turun temurun sejak dulu. Adapun rangkaian kegiatannya dilaksanakan dengan berbagai variasi sesuai dengan adat daerah masing-masing.
Di sini, penulis akan membahas tentang tradisi sadranan di desa Ngrukun dan Kalijambe Kidul. Seperti apa rangkaian tradisi sadranan di sana, akan diuraikan dalam tulisan ini.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana sejarah tradisi sadranan di desa Ngrukun dan Kalijambe Kidul?
2.      Kapan dan dimana tradisi sadranan di desa Ngrukun dan Kalijambe Kidul dilaksanakan?
3.      Bagaimana tata cara pelaksanaan tradisi sadranan di desa Ngrukun dan Kalijambe Kidul?
4.      Apa hikmah dibalik tradisi sadranan tersebut?
BAB II
LANDASAN TEORI
Kebudayaan Jawa merupakan kebudayaan yang terpresentasi dalam bentuk tradisi, baik berupa tradisi yang berupa hiburan, bersifat spiritual, berbau mistik, ataupun kolaborasi dari ketiganya.
Bagi masyarakat Jawa, hidup ini penuh dengan tradisi, baik tradisi-tradisi yang berkaitan dengan lingkungan hidup manusia sejak dari keberadaanya dari perut ibu, lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa sampai dengan kematiannya. Hal ini dikarenakan, menurut Koentjaraningrat yang dimaksud masyarakat adalah kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia yang terikat oleh suatu sistem adat istiadat.[1]
Kepercayaan atau ritual yang dilakukan oleh orang Jawa disebut sebagai “Kejawen”. Ajaran kejawen merupakan keyakinan dan ritual campuran dari agama-agama formal dengan pemujaan dengan kekuatan alam. Sebagai contoh, orang Jawa banyak yang menganut agama Islam, namun pengetahuan mereka tentang agamanya boleh dikatakan masih kurang mendalam. Karena, dalam  keberagamaan masyarakat Jawa adalah nominalis, dalam arti bahwa mereka tidak bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ajaran-ajaran agamanya. Ada juga diantara mereka yang benar-benar serius dalam menjalankan ajaran-ajaran agamanya. Praktik keagamaan yang dilakukan hanya sebagai seremoni semata.[2]



BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian lapangan (field research), metode ini merupakan salah satu metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif yang tidak memerlukan pengetahuan yang mendalam akan literatur yang digunakan dan kemampuan tertentu dari pihak peneliti. Metode penelitian ini biasa dilakukan untuk memutuskan ke arah mana penelitiannya berdasarkan konteks.



BAB IV
INSTRUMEN PENELITIAN
Instrumen penelitian dalam penelitian ini menggunakan instrumen wawancara, wawancara merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan jalan mengadakan komunikasi dengan sumber data. Komunikasi tersebut dilakukan dengan dialog (tanya jawab) secara lisan, baik langsung maupun tidak langsung (I. Djumhur dan M. Surya, 1985).
BAB V
KONDISI LAPANGAN
Tradisi sadranan yang diangkat dalam penelitian ini bertempat di desa Ngrukun RT.01 kelurahan Krikilan, kecamatan Kalijambe, kabupaten Sragen, tepatnya di makam KH. Mustahal Awal Ngrukun. Adapun pelaksanaannya berlangsung selama satu hari satu malam yaitu pada tanggal 23 sya’ban.
Acara ini dihadiri para muslimin dan muslimat dari berbagai daerah, serta dipanitiai oleh perwakilan warga setempat dibantu para anggota masyarakat.



BAB VI
ANALISIS LAPORAN
A.    Sejarah Sadranan
 Sadranan sudah ada sejak zaman dulu, tidak diketahui dengan pasti bagaimana sejarahnya karena para leluhur yang mengetahui sejarah tersebut sudah tiada. Yang perlu digaris bawahi adalah KH. Mustahal Awal merupakan seorang alim ulama yang sudah mencapai ma’rifat kepada Allah swt. yang dikenal tidak punya rasa marah. Beliau juga berjasa mendirikan masjid dan pondok pesantren. Pernah suatu hari ada macan yang tercebur ke dalam kolam dekat pondok pesantren milik KH. Mustahal Awal, karena kebaikan hatinya beliau menolong macan tersebut. Setelah ditolong macan tersebut membawakan hasil buruannya kepada beliau sebagai rasa terimakasih karena sudah menolongnya.
Menurut kepercayaan masyarakat, orang yang berdo’a di dekat makam KH. Mustahal Awal akan sampai kepada Allah swt. karena beliau merupakan orang yang dekat kepada Allah semasa hidupnya. Dan mereka percaya meskipun beliau sudah meninggal namun ruhnya masih bisa mendengar. Berdo’a disini bukan berarti syirik, karena tetap ditujukan hanya kepada Allah swt. semata. Adapun kunci sukses bagi para peziarah adalah dengan tetap mempelajari al-Qur’an, hidup jujur, dan prihatin, maka akan dimudahkan jalannya oleh Allah swt.

B.      Waktu dan Tempat Pelaksanaan Sadranan
Di desa Ngrukun dan Kalijambe Kidul sadranan biasa dilaksanakan pada tanggal 23 Ruwah (23 Sya’ban dalam tahun Hijriah) atau satu minggu menjelang ramadhan.
Adapun tempat pelaksanaannya di makam Alm. simbah KH. Mustahal Awal yang disandingkan dengan makam penduduk desa Ngrukun dan Kalijambe Kidul yang telah meninggal. Makam ini sangat luas, terdiri dari alun-alun dan terdapat Taman Pendidikan al-Qur’an (TPA) di sebelahnya. Alun-alun inilah yang digunakan untuk para jama’ah yang akan mendengarkan pengajian dan serangkaian acara sadranan lainnya. Sebenarnya di sisi utara juga terdapat bakal pondok pesantren, namun karena berbagai kendala pembangunan pondok pesantren tersebut terhenti.

C.     Pelaksanaan Sadranan
Sebelum sadranan, warga desa yang terdiri dari bapak-bapak dan para pemuda melakukan besik atau bersih makam yaitu membersihkan area makam atau tempat yang akan digunakan untuk sadranan nantinya. Kegiatan ini biasanya dikerjakan satu minggu sebelum sadranan.
Acara sadranan ini dimulai saat malam sebelum hari-H, pada malam ini para warga menyiapkan makanan dibantu para pemuda dan pemudi anggota karangtaruna Sinar Harapan Kalijambe Kidul dan Tunas Jaya Ngrukun untuk nantinya dimakan bersama saat pengajian. Warga yang bertugas memasak makanan dilakukan secara bergiliran, kalau malam menjelang sadranan yang menyiapkan adalah warga desa Ngrukun maka siangnya nanti yang bertugas adalah warga Kalijambe Kidul. Begitupun sebaliknya, apabila warga Kalijambe Kidul yang menyiapkan makanan saat malamnya maka siang harinya adalah tugas warga desa Ngrukun.
Pada sore hari warga sudah sibuk melakukan persiapan, mulai dari sound system, kajang, slebrak/ tikar yang akan digunakan sebagai alas duduk jama’ah serta persipan-persiapan lain yang menunjang jalannya acara.
Malam harinya, setelah isya’ sound system sudah mulai mengumandangkan syair-syair islami dan sholawatan, serta sajian menarik seni hadrah dari para santri. Setelah itu membaca tahlil dan mendengarkan ceramah dari mubaligh yang merupakan inti acara pada malam tersebut.
Keesokan harinya, rangkaian kegiatan sadranan hampir sama dengan rangkaian kegiatan pada malam hari, hanya saja waktu pelaksanaannya saja yang berbeda.

C.     Hikmah Sadranan
Adapun hikmah diadakannya sadranan adalah sebagai berikut:
1.      Besik/bersih kubur
Kegiatan ini memiliki makna akan pentingnya kebersihan dan bisa menjadi simbol bahwa masyarakat telah membersihkan jasmani mereka dari segala kotoran sehingga pada bulan puasa yang akan segera datang mereka bisa menyempurnakan amalan dan membersihkan batin mereka.
2.      Mengingat mati
Mengunjungi kubur/ ziarah merupakan media untuk mengingat mati, dimana dengan mengingat mati manusia manusia akan memiliki kecenderungan untuk berbuat sebaik mungkin dalam hidup.
3.      Mempererat persaudaraan
Dengan menghadiri sadranan para warga bertemu dan berkumpul untuk mendoakan leluhur serta menyiapkan makanan untuk dimakan bersama yang dapat memupuk rasa kekeluargaan dan mempererat tali persaudaraan.




BAB VII
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diambil kesimpulan bahwa sadranan merupakan sarana untuk berziarah, mendoakan orang tua yang telah meninggal dunia dan para leluhur kita, sekaligus ajang silaturahim dan berbagi kepada sesama.
Pada intinya sadranan merupakan warisan budaya Jawa yang sudah berakulturasi dengan nilai-nilai Islam dan mendatangkan banyak manfaat bagi kemaslahatan sosial serta spiritual. Sudah sepantasnya kita merawat serta meruwat budaya tersebut. Karena selain sebagai umat Islam, kita juga tinggal di Jawa yang otomatis kita harus menghormati nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat Jawa.



DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 1996. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Amin, M. Darori. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media.



BIODATA PENULIS
Nama                                       : Maya Masitha Safitri
NIM                                        : 133511068
Fakultas/ Jurusan                    : FITK/ Pendidikan Matematika
Tempat, Tanggal Lahir            : Sragen, 03 Maret 1995
Alamat                                    : Kalijambe Kidul RT 02, Kel. Krikilan, Kec. Kalijambe, Kab. Sragen.
Riwayat Pendidikan               : MI Yaumika Kalioso
MTs. Yaumika Kalioso
MAN 3 Sragen


 


LAMPIRAN

Malam Pasadranan

Puncak Sadranan di Siang Hari

 



[1] Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, hlm. 100.
[2] M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000, hlm. 86.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Laporan Observasi Museum Ranggawarsita

Bangsa dan Identitas Nasional (Makalah)